Purwokerto, 9 Juli 2025 – Era kemudahan pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melalui skema Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% dari peredaran bruto akan segera berakhir bagi sebagian besar wajib pajak. Kebijakan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 ini memberikan batas waktu pemanfaatan yang spesifik. Seiring berakhirnya tenggat tersebut pada tahun 2024 dan 2025 bagi banyak pelaku usaha, transisi menuju mekanisme perhitungan pajak normal menjadi sebuah keniscayaan yang harus dipersiapkan dengan matang untuk menghindari potensi sanksi dan beban administratif di kemudian hari.

Memahami esensi transisi ini adalah langkah fundamental pertama. Skema PPh Final 0,5% memungkinkan UMKM membayar pajak berdasarkan omzet kotor tanpa perlu menghitung laba-rugi. Namun, fasilitas ini terbatas: maksimal 7 tahun untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, 4 tahun untuk CV, Firma, dan Koperasi, serta 3 tahun untuk Perseroan Terbatas (PT). Setelah batas waktu tersebut terlampaui, UMKM wajib beralih ke rezim pajak normal. Ini berarti, pajak akan dihitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak (laba bersih), yang didapat dari total pendapatan dikurangi seluruh biaya yang dapat dibebankan secara fiskal. Kewajiban ini menuntut adanya perubahan fundamental dalam administrasi keuangan usaha.

Langkah praktis yang harus segera dilakukan adalah mengevaluasi status dan batas waktu. Pelaku UMKM perlu memeriksa kembali kapan mereka terdaftar sebagai Wajib Pajak atau kapan mereka mulai memanfaatkan fasilitas PP 23/2018. Tanggal inilah yang menjadi penentu kapan kewajiban PPh Final berakhir. Informasi ini dapat dikonfirmasi melalui akun DJP Online atau dengan berkonsultasi langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar. Mengetahui tanggal pasti transisi memberikan waktu yang cukup untuk melakukan persiapan yang diperlukan.

Langkah kedua, dan yang paling krusial, adalah memulai pembukuan yang rapi dan terstandar. Di bawah rezim pajak normal, setiap biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (biaya 3M) dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Oleh karena itu, UMKM harus mulai disiplin mencatat dan menyimpan seluruh bukti transaksi pengeluaran, seperti nota pembelian bahan baku, kuitansi pembayaran gaji karyawan, tagihan listrik, biaya sewa tempat usaha, hingga biaya pemasaran. Penggunaan aplikasi akuntansi sederhana atau bahkan spreadsheet yang terstruktur dapat sangat membantu dalam proses ini. Tanpa pembukuan yang memadai, Wajib Pajak tidak dapat membuktikan biaya-biaya usahanya, sehingga laba kena pajak berpotensi dihitung lebih tinggi oleh otoritas pajak.

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp4,8 miliar setahun dan merasa kesulitan menyelenggarakan pembukuan, terdapat alternatif yang lebih sederhana, yaitu menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN). Mekanisme ini memungkinkan Wajib Pajak menghitung penghasilan neto dengan mengalikan peredaran bruto dengan persentase norma yang telah ditetapkan pemerintah, yang besarannya berbeda-beda tergantung jenis usaha dan lokasi. Untuk dapat menggunakan NPPN, Wajib Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Pada intinya, transisi dari PPh Final bukanlah sebuah hukuman, melainkan sebuah penanda bahwa bisnis telah berjalan cukup matang. Persiapan yang proaktif melalui identifikasi status, implementasi pembukuan yang disiplin, atau pemilihan opsi NPPN adalah kunci untuk melalui proses ini dengan lancar. Berkonsultasi dengan ahli pajak atau petugas di KPP merupakan langkah bijak untuk memastikan kepatuhan dan mengoptimalkan kewajiban perpajakan di era baru bisnis Anda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *