Purwokerto, 19 Agustus 2025– Proyek lumbung pangan nasional atau food estate yang terus dikebut pengerjaannya oleh pemerintah di sejumlah wilayah seperti Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara diproyeksikan sebagai jawaban atas tantangan ketahanan pangan dan ketergantungan impor. Namun, di tengah narasi optimistis tersebut, muncul kekhawatiran dari para pelaku usaha skala kecil mengenai dampak proyek raksasa ini terhadap ekosistem agribisnis lokal, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Pemerintah berargumen bahwa food estate akan menciptakan efek domino positif. Dengan produksi skala masif komoditas seperti padi, jagung, dan singkong, diharapkan akan lahir industri-industri hilir baru yang dapat diisi oleh UMKM.

“Ini adalah peluang emas. Hasil panen melimpah dari food estate membutuhkan pengolahan. Di sinilah UMKM bisa masuk, misalnya dengan memproduksi tepung mocaf, pakan ternak dari jagung, atau produk olahan lainnya,” ujar seorang pejabat dari Kementerian Pertanian dalam sebuah webinar, Selasa (19/8/2025). Menurutnya, proyek ini juga akan membuka kebutuhan logistik, suplai pupuk, dan jasa penunjang lainnya yang bisa menjadi ceruk pasar bagi pengusaha lokal.

Namun, suara dari lapangan menyuarakan nada yang berbeda. Para petani tradisional dan UMKM di sektor pangan khawatir bahwa gelontoran hasil panen dari food estate yang dikelola korporasi besar justru akan membanjiri pasar dan menekan harga jual di tingkat petani.

“Kami khawatir tidak bisa bersaing,” ungkap Sutrisno, ketua sebuah koperasi petani di Jawa Tengah. “Skala produksi mereka industri, sementara kami tradisional. Jika harga jual anjlok, kami yang pertama kali gulung tikar. Pertanyaannya, apakah korporasi pengelola food estate itu akan diwajibkan menyerap hasil panen kami sebagai mitra? Belum ada jaminan yang jelas.”

Kekhawatiran ini diamini oleh pengamat ekonomi pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Budiman Santoso. Ia menilai, kunci keberhasilan food estate bukan hanya pada volume produksi, melainkan pada model integrasinya.

“Tanpa adanya skema kemitraan yang jelas, mengikat, dan berpihak pada pelaku usaha lokal, food estate berisiko menjadi sebuah ekonomi enclave tertutup dan hanya menguntungkan segelintir pemain besar,” jelasnya. “Pemerintah harus memastikan UMKM tidak hanya menjadi penonton, tetapi menjadi bagian integral dari rantai pasoknya, misalnya melalui kontrak sebagai off-taker (pembeli siaga) hasil panen.”

Proyek food estate kini berada di persimpangan jalan. Ia bisa menjadi lokomotif ketahanan pangan nasional yang menarik gerbong UMKM, atau justru menjadi kereta cepat yang meninggalkan mereka jauh di belakang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *