Purwokerto, 2 Juli 2025 – Bagi dunia usaha di Indonesia, tahun 2025 menandai pergeseran fundamental di mana isu keberlanjutan (sustainability) tidak lagi hanya sebatas program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), tetapi telah berevolusi menjadi sebuah pilar inti dalam strategi dan manajemen risiko. Didorong oleh regulasi global dan nasional yang semakin ketat, perusahaan kini dihadapkan pada era baru kepatuhan hijau yang menuntut transparansi dan akuntabilitas penuh atas dampak lingkungan dan sosial mereka.

Salah satu pendorong utama perubahan ini adalah adopsi standar pelaporan keberlanjutan yang lebih terstruktur, sejalan dengan tren global seperti yang dicanangkan oleh International Sustainability Standards Board (ISSB). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan bursa efek secara bertahap mewajibkan emiten untuk melaporkan kinerja Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST/ESG) mereka secara lebih kuantitatif. Laporan ini bukan lagi sekadar narasi, melainkan harus menyajikan data terukur mengenai emisi karbon, manajemen limbah, penggunaan air, hingga praktik ketenagakerjaan.

Selain kewajiban pelaporan, implementasi mekanisme harga karbon melalui Bursa Karbon Indonesia yang semakin matang turut memberikan tekanan finansial. Perusahaan di sektor-sektor dengan emisi tinggi, seperti energi, manufaktur berat, dan transportasi, kini harus memasukkan potensi biaya pajak karbon atau kewajiban membeli kredit karbon ke dalam kalkulasi bisnis mereka. Hal ini secara efektif mengubah polusi dari sekadar eksternalitas menjadi biaya operasional yang nyata.

Kondisi ini menghadirkan pedang bermata dua bagi para pemimpin bisnis. Di satu sisi, ia merupakan tantangan kepatuhan yang kompleks dan berpotensi menambah beban biaya. Perusahaan harus berinvestasi pada sistem pengumpulan data, teknologi rendah karbon, dan sumber daya manusia yang kompeten di bidang ESG. Namun di sisi lain, era kepatuhan hijau ini membuka peluang strategis yang signifikan.

Perusahaan yang proaktif dalam dekarbonisasi dan efisiensi energi tidak hanya akan mengurangi potensi beban pajak karbon, tetapi juga dapat menurunkan biaya operasional dalam jangka panjang. Inovasi produk yang berorientasi pada ekonomi sirkular atau penggunaan material ramah lingkungan dapat membuka segmen pasar baru, terutama di kalangan konsumen muda yang semakin sadar lingkungan. Selain itu, skor ESG yang baik terbukti semakin menjadi faktor penentu bagi investor global dan lembaga keuangan dalam menyalurkan modal “hijau” (green financing) dengan suku bunga yang lebih kompetitif.

Pada akhirnya, para pelaku bisnis yang memandang regulasi keberlanjutan hanya sebagai beban akan tertinggal. Sebaliknya, mereka yang mampu mengintegrasikannya ke dalam DNA perusahaan mulai dari rantai pasok, operasional, hingga desain produk akan membangun keunggulan kompetitif yang tangguh, meningkatkan citra merek, dan memastikan relevansi bisnis mereka untuk jangka panjang di tengah lanskap ekonomi global yang berubah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *