Purwokerto, 1 Juli 2025 – Lanskap bisnis global kini berada dalam fase transformasi fundamental yang didorong oleh dua kekuatan dominan: ketegangan geopolitik yang terus bereskalasi dan volatilitas harga komoditas yang sulit diprediksi. Bagi para pemimpin perusahaan di Indonesia dan dunia, era stabilitas relatif yang ditandai oleh globalisasi tanpa hambatan telah berakhir. Lingkungan operasional baru ini menuntut tingkat kewaspadaan, adaptabilitas, dan strategi manajemen risiko yang jauh lebih canggih untuk sekadar bertahan, apalagi untuk bertumbuh.
Ketegangan geopolitik, yang termanifestasi dalam konflik regional, sanksi ekonomi, dan persaingan strategis antarnegara adidaya, telah secara langsung mengganggu dan memfragmentasi rantai pasok global. Disrupsi pada rute pelayaran krusial, seperti ketegangan yang berkelanjutan di Laut Cina Selatan atau Timur Tengah, tidak hanya menaikkan biaya logistik dan premi asuransi kargo secara drastis, tetapi juga menambah ketidakpastian waktu pengiriman. Akibatnya, perusahaan yang selama puluhan tahun mengandalkan model just-in-time yang efisien kini dipaksa beralih ke model just-in-case. Strategi ini menuntut adanya stok pengaman yang lebih besar, yang secara langsung meningkatkan biaya penyimpanan dan modal kerja yang terikat dalam inventaris. Biaya ketahanan (cost of resilience) ini menjadi sebuah realitas baru yang harus dimasukkan dalam kalkulasi bisnis.
Lebih jauh lagi, fragmentasi geopolitik mendorong munculnya tren friend-shoring atau nearshoring, di mana perusahaan memindahkan fasilitas produksi atau mencari pemasok dari negara-negara yang bersekutu secara politik. Walaupun bertujuan mengurangi risiko jangka panjang, strategi ini sering kali datang dengan biaya jangka pendek yang lebih tinggi. Bagi Indonesia, fenomena ini dapat menjadi peluang emas untuk menarik investasi manufaktur yang keluar dari negara lain, namun sekaligus menjadi tantangan untuk membuktikan keunggulan kompetitif dari sisi infrastruktur, regulasi, dan kualitas sumber daya manusia.
Faktor kedua, volatilitas harga komoditas, sering kali merupakan turunan langsung dari ketidakpastian geopolitik. Konflik di wilayah produsen utama dapat menyebabkan lonjakan harga energi, yang berimbas secara berantai ke seluruh biaya produksi. Demikian pula, kebijakan proteksionisme pada komoditas pangan dan mineral industri dapat menciptakan guncangan pasokan. Di sisi lain, transisi energi hijau global juga menciptakan episentrum volatilitas baru pada komoditas kritis seperti nikel, kobalt, dan litium. Permintaan yang meroket untuk baterai kendaraan listrik bertemu dengan pasokan yang terkonsentrasi di beberapa negara, menjadikannya sangat rentan terhadap manuver politik.
Kombinasi kedua kekuatan ini memaksa perusahaan mengadopsi pendekatan strategis yang lebih holistik dan berbasis teknologi. Manajemen risiko tidak lagi hanya sebatas lindung nilai (hedging), tetapi telah berkembang menjadi penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk memonitor dan memprediksi disrupsi rantai pasok secara real-time. Investasi pada riset dan pengembangan untuk substitusi material juga meningkat. Perusahaan juga dituntut untuk berinvestasi pada talenta dengan keahlian baru, seperti analis risiko geopolitik dan pakar rantai pasok global. Pada akhirnya, adaptabilitas bukan lagi sekadar jargon, melainkan kapabilitas inti yang menentukan kelangsungan hidup bisnis di tengah turbulensi.