Jakarta, 6 Agustus 2025 – Dalam upaya memperkuat posisi produk dalam negeri di pasar domestik dan global, pemerintah Indonesia menggulirkan berbagai program strategis untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dua di antaranya yang paling menonjol adalah fasilitasi sertifikasi halal gratis melalui program seperti SEHATI (Sertifikasi Halal Gratis) dan pembinaan Standar Nasional Indonesia (SNI) melalui SNI Bina UMK. Inisiatif ini bertujuan mulia: menghilangkan hambatan biaya yang selama ini menjadi kendala utama. Namun, sebuah pertanyaan fundamental muncul: seberapa efektifkah program “gratis” ini dalam meningkatkan daya saing produk lokal secara nyata?

Keberhasilan Awal dalam Membuka Akses Pasar

Tidak dapat dimungkiri, program sertifikasi gratis telah berhasil mencapai tujuan utamanya, yaitu meruntuhkan tembok penghalang finansial. Bagi banyak usaha mikro, biaya jutaan rupiah untuk mengurus sertifikasi adalah sebuah kemewahan. Dengan adanya fasilitas ini, puluhan ribu UMKM berhasil mendapatkan sertifikat yang sebelumnya sulit dijangkau. Keberhasilan ini secara teoretis membuka gerbang akses pasar yang lebih luas. Sertifikat Halal, misalnya, bukan lagi sekadar label religius, melainkan sebuah prasyarat mutlak untuk memasuki pasar produk makanan, minuman, kosmetik, dan farmasi di Indonesia seiring berjalannya kewajiban sertifikasi halal.

Demikian pula dengan label SNI. Bagi produk-produk tertentu, SNI adalah paspor untuk dapat diterima di jaringan ritel modern, proyek pengadaan pemerintah (e-katalog), hingga pasar ekspor yang mensyaratkan standar kualitas dan keamanan produk. Dengan memiliki sertifikat ini, produk UMKM mendapatkan validasi formal yang dapat meningkatkan kepercayaan konsumen dan mitra bisnis. Proses untuk mendapatkan sertifikat itu sendiri juga secara tidak langsung “memaksa” UMKM untuk memperbaiki dan menstandardisasi proses produksi, kebersihan, dan manajemen mutu mereka.

Realitas di Lapangan: Antara Sertifikat dan Peningkatan Omzet

Meskipun capaian kuantitatif dalam jumlah penerbitan sertifikat patut diapresiasi, efektivitasnya dalam mendorong daya saing menghadapi tantangan di level implementasi. Pertama, “gratis” tidak selalu berarti “mudah”. Pelaku UMKM masih sering dihadapkan pada alur birokrasi yang dianggap rumit, pengisian dokumen yang kompleks, dan proses pendampingan yang durasinya terbatas. Tanpa literasi administrasi dan digital yang memadai, banyak yang masih kesulitan menyelesaikan prosesnya secara mandiri.

Kedua, dan ini yang paling krusial, memiliki sertifikat bukanlah jaminan otomatis untuk peningkatan penjualan. Sertifikasi adalah fondasi, bukan keseluruhan bangunan. Banyak UMKM yang telah bersertifikat namun kesulitan bersaing karena masih lemah dalam aspek vital lainnya: desain kemasan yang kurang menarik, strategi pemasaran digital yang minim, manajemen keuangan yang belum profesional, dan branding yang tidak kuat. Tanpa adanya program pendampingan pasca-sertifikasi yang terintegrasi untuk mengatasi kelemahan-kelemahan ini, sertifikat yang dimiliki berisiko hanya menjadi hiasan di dinding.

Tantangan lainnya adalah menjaga konsistensi mutu. Sertifikat diperoleh pada satu waktu, namun untuk mempertahankan kepercayaan pasar, kualitas produk harus terjaga secara berkelanjutan. Hal ini menuntut disiplin dan investasi sumber daya yang menjadi pekerjaan rumah lanjutan bagi UMKM pasca-sertifikasi.

Menuju Ekosistem Pendukung yang Holistik

Program sertifikasi Halal dan SNI gratis adalah sebuah intervensi kebijakan yang positif dan perlu. Program ini telah berhasil pada tahap awal, yaitu demokratisasi akses terhadap standardisasi. Namun, untuk mengukur efektivitasnya secara menyeluruh, tolok ukurnya harus bergeser dari sekadar jumlah sertifikat yang diterbitkan menjadi dampak nyata pada peningkatan omzet, perluasan pasar, dan keberlanjutan usaha UMKM.

Ke depan, kebijakan ini harus berevolusi menjadi sebuah ekosistem pendukung yang holistik. Pemerintah perlu memperkuat program pendampingan pasca-sertifikasi yang berfokus pada pemasaran, branding, dan literasi finansial. Dengan demikian, sertifikat tidak hanya menjadi bukti kepatuhan, tetapi juga alat akselerasi bisnis yang ampuh, yang pada akhirnya benar-benar mampu mendorong daya saing produk lokal di panggung ekonomi yang semakin kompetitif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *